Thursday, 19 July 2012

Cara Menentukan Awal Bulan Ramadhan


Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, menjelang bulan suci Ramadhan pasti kita selalu disuguhkan beberapa pertanyaan yang sama. “Kapan sih puasanya? Hari ini atau hari itu ya?” bahkan menjelang akhir bulan Ramadhan pertanyaan yang sama juga terlontar, “Lebarannya hari apa? Hari ini atau hari itu?” Sekilas kita pasti bertanya-tanya, kok mau puasa dan lebaran aja bisa beda ya?
Ya, penanggalan pada kalender Islam / Hijriyah (qomariyah) memang berbeda dengan kalender Masehi, yang menghitung berdasarkan putaran matahari (syamsiah). Pada sistem kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun, pada sistem kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya Matahari di tempat tersebut.
Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.
Penentuan awal bulan Hijriyah ditandai dengan munculnya penampakan Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru. Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 atau 30 hari, karena semuanya tergantung pada penampakan hilal.
Rupanya hal ini tak jarang membuahkan polemik kecil mengenai kapan mulai berpuasa. ada tiga pandangan yang dijadikan sumber penentuan awal bulan baru. Dalil ketiganya bisa dibilang kuat, dan diperlukan ijtihad dari diri kita masing-masing menilainya.
Pendapat pertama menentukan dengan cara Ru’yatul Hilal. Pendapat ini melihat Hilal dengan menggunakan mata telanjang atau penglihatan langsung, pada saat terbenamnya Matahari di hari ke-29 (akhir bulan). Syaratnya, Hilal dilihat oleh saksi yang dipercaya beritanya dan diterima kesaksiannya, sehingga dengan itu diketahui bulan baru telah masuk. Dalam syariat Islam, masuknya bulan baru ditandai dengan terlihatnya Hilal. Meskipun secara perhitungan Hilal sudah wujud, namun jika pada kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru. Hal ini berdasarkan dalil :
أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال : « لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له »
Bahwa Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, maka beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum (puasa) hingga kalian melihat Hilal, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung, debu, atau yang lainnya) maka tentukan / perkirakanlah untuknya.” (HR. Bukhari – Muslim)
Pendapat yang kedua adalah dengan cara Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan apabila tidak berhasil melakukan Ru’yatul Hilal, baik karena mendung ataupun karena faktor lainnya.
Pandangan ini berdasarkan hadist Nabi
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal lagi maka berbukalah, Lalu jika ditutupi atas kalian maka berpuasalah tiga puluh hari.(HR. Bukhari - Muslim)
Sedangkan pendapat ketiga adalah menggunakan Ilmu hisab yang juga disebut dengan ilmu falak. Secara bahasa falak berarti tempat peredaran bintang atau benda langit. Pendapat ini berdasarkan dalil “Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Saw menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah.” (HR. Bukhari – Muslim)
Pendapat ini menafsirkan Ru’yah" dengan ru'yah bil 'ilmi (melihat dengan ilmu). Pendapat kelompok ini didasarkan atas ayat Alquran surat Yunus (10:5)  :
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.” (QS. Yunus : 5)
Jadi, di sinilah pentingnya ilmu bagi kita sebelum beramal. Karena amal tanpa ilmu adalah sesat. Sedangkan ilmu tanpa diamalkan juga akan sia-sia. “Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (jahil)?.” (QS. Az-Zumar: 9). Dalam ayat tersebut Allah Swt secara terang menyatakan perbedaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memberi pengetahuan lebih tentang ilmu agama.” (HR. Bukhari - Muslim)

Waalahu’alam bisshowab ..

1 comment: