Seperti
pada tahun-tahun sebelumnya, menjelang bulan suci Ramadhan pasti kita selalu
disuguhkan beberapa pertanyaan yang sama. “Kapan sih puasanya? Hari ini atau
hari itu ya?” bahkan menjelang akhir bulan Ramadhan pertanyaan yang sama juga
terlontar, “Lebarannya hari apa? Hari ini atau hari itu?” Sekilas kita pasti
bertanya-tanya, kok mau puasa dan lebaran aja bisa beda ya?
Ya,
penanggalan pada kalender Islam / Hijriyah (qomariyah) memang berbeda dengan
kalender Masehi, yang menghitung berdasarkan putaran matahari (syamsiah). Pada
sistem kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu
setempat. Namun, pada sistem kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai
ketika terbenamnya Matahari di tempat tersebut.
Kalender
Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan (qomariyah),
memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan,
bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708
hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun kalender Hijriah lebih pendek sekitar
11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.
Penentuan
awal bulan Hijriyah ditandai dengan munculnya penampakan Bulan Sabit pertama
kali (hilal) setelah bulan baru. Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat
setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika
hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan
tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana
saja yang memiliki 29 atau 30 hari, karena semuanya tergantung pada penampakan
hilal.
Rupanya hal ini tak jarang
membuahkan polemik kecil mengenai kapan mulai berpuasa. ada tiga pandangan yang
dijadikan sumber penentuan awal bulan baru. Dalil ketiganya bisa dibilang kuat,
dan diperlukan ijtihad dari diri kita masing-masing menilainya.
Pendapat pertama menentukan
dengan cara Ru’yatul Hilal. Pendapat ini melihat Hilal dengan menggunakan mata
telanjang atau penglihatan langsung, pada saat terbenamnya Matahari di hari
ke-29 (akhir bulan). Syaratnya, Hilal dilihat oleh saksi yang dipercaya
beritanya dan diterima kesaksiannya, sehingga dengan itu diketahui bulan baru
telah masuk. Dalam syariat Islam, masuknya bulan baru ditandai dengan
terlihatnya Hilal. Meskipun secara perhitungan Hilal sudah wujud, namun jika
pada kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru. Hal ini
berdasarkan dalil :
أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال : « لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له »
Bahwa
Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, maka beliau berkata : “Janganlah kalian
bershaum (puasa) hingga kalian melihat Hilal, dan janganlah kalian ber’idul
fitri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung, debu,
atau yang lainnya) maka tentukan / perkirakanlah untuknya.” (HR. Bukhari –
Muslim)
Pendapat
yang kedua adalah dengan cara Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Hal ini dilakukan apabila tidak berhasil melakukan Ru’yatul Hilal, baik
karena mendung ataupun karena faktor lainnya.
Pandangan ini
berdasarkan hadist Nabi
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Apabila kalian
melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal lagi maka berbukalah,
Lalu jika ditutupi atas kalian maka berpuasalah tiga puluh hari.” (HR. Bukhari - Muslim)
Sedangkan pendapat ketiga adalah menggunakan Ilmu hisab yang juga disebut
dengan ilmu falak. Secara bahasa falak berarti
tempat peredaran bintang atau benda langit. Pendapat ini
berdasarkan dalil “Dari Ibnu ‘Umar,
bahwa Rasulullah Saw menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah
kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka
sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah.”
(HR. Bukhari – Muslim)
Pendapat
ini menafsirkan Ru’yah" dengan ru'yah bil 'ilmi (melihat dengan ilmu).
Pendapat kelompok ini didasarkan atas ayat Alquran surat Yunus (10:5) :
“Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang Mengetahui.” (QS. Yunus : 5)
Jadi, di
sinilah pentingnya ilmu bagi kita sebelum beramal. Karena amal tanpa ilmu
adalah sesat. Sedangkan ilmu tanpa diamalkan juga akan sia-sia. “Katakanlah
(ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang
yang tidak mengetahui (jahil)?.” (QS. Az-Zumar: 9). Dalam ayat
tersebut Allah Swt secara terang menyatakan perbedaan orang yang berilmu dengan
orang yang tidak berilmu.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa
yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memberi
pengetahuan lebih tentang ilmu agama.” (HR. Bukhari - Muslim)
Waalahu’alam
bisshowab ..
boleh juga nih (y)
ReplyDelete